Kisah Nabi Ibrahim Lengkap Dari Lahir Sampai Wafat

Kisah Nabi Ibrahim Lengkap Dari Lahir Sampai Wafat

MUSLIMIDIA.COM - Kisah Nabi Ibrahim Lengkap.

Nabi Ibrahim adalah seorang harnba Allah SWT yang berhak diangkat-Nya menjadi al-Khalil (kekasih Allah SWT).

Itu adalah derajat dari derajat-derajat kenabian yang kita tidak mengetahui nilainya.

Kita juga tidak mengetahui bagaimana kita menyifatinya. Berapa banyak pernyataan-pernyataan manusia berkaitan dengan hal tersebut, namun rasa-rasanya ia laksana penjara yang justru menggelapkannya.

Al-Qur'an al-Karim tidak menceritakan tentang proses kelahirannya dan masa kecilnya nabi ibrahim. Kita mengetahui bahwa di masa Nabi Ibrahim manusia terbagi menjadi tiga kelompok.

Kelompok pertama menyembah patung-patung yang terbuat dari kayu dan batu. Kelompok kedua menyembah bintang dan bulan dan kelompok ketiga menyembah raja-raja atau penguasa. 

Cahaya akal saat itu padam sehingga kegelapan memenuhi segala penjuru bumi. Akhirnya, kehausan bumi untuk mendapatkan rahmat dan kelaparannya terhadap kebenaran pun semakin meningkat.

Dalam suasana yang demikianlah Nabi Ibrahim dilahirkan. 

Ia dilahirkan dari keluarga yang mempunyai keahlian membuat patung atau berhala. Disebutkan bahwa ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan kemudian ia diasuh oleh pamannya di mana pamannya itu menduduki kedu­dukan ayahnya. 

Nabi Ibrahim pun memanggil dengan sebutan-sebutan yang biasa ditujukan kepada seorang ayah. Ada juga ada yang mengatakan bahwa ayahnya tidak meninggal dan Azar adalah benar-benar ayahnya.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Azar adalah nama salah satu patung yang cukup terkenal yang dibuat oleh ayahnya. Alhasil, Ibrahim berasal dari keluarga semacam ini.

Kepala keluarga Ibrahim adalah salah seorang seniman yang terbiasa memahat patung-patung sehingga profesi si ayah mendapatkan kedudukan istimewa di tengah-tengah kaumnya.

Keluarga Nabi Ibrahim sangat dihormati. Dalam bahasa kita saat ini bisa saja ia disebut dengan keluarga aristokrat. 

Dari keluarga semacam ini lahir seorang anak yang mampu menentang penyimpangan dari keluarganya sendiri.

Menentang sistem masyarakat yang rusak serta melawan berbagai macam ramalan para dukun, dan menentang penyembahan berhala dan bintang, serta segala bentuk kesyirikan. 

Akhirnya, beliau mendapatkan ujian berat saat beliau dimasukkan ke dalam api dalam keadaan hidup-hidup.

Kita tidak ingin mendahului peristiwa tersebut. Kami ingin memulai kisah Nabi Ibrahim sejak masa kecilnya.

Nabi Ibrahim Semasa Kecil

Nabi Ibrahim adalah seseorang yang akalnya cemerlang sejak beliau berusia muda. Allah SWT menghidupkan hatinya dan akalnya dan memberinya hikmah sejak masa kecilnya.

Nabi Ibrahim mengetahui saat beliau masih kecil bahwa ayahnya seseorang yang membuat patung-patung yang unik.

Pada suatu hari, ia bertanya terhadap ciptaan ayahnya kemudian ayahnya memberitahunya bahwa itu adalah patung-patung dari tuhan-tuhan.

Nabi Ibrahim sangat keheranan melihat hal tersebut, kemudian timbul dalam dirinya—melalui akal sehatnya penolakan terhadapnya. 

Uniknya, Nabi Ibrahim justru bermain-main dengan patung itu saat ia masih kecil, bahkan terkadang ia menunggangi pung­gung patung-patung itu seperti orang-orang yang biasa menung­gang keledai dan binatang tunggangan lainya. 

Pada suatu hari, ayahnya melihatnya saat menunggang punggung patung yang bernama Mardukh. Saat itu juga ayahnya marah dan memerintahkan anaknya agar tidak bermain-main dengan patung itu lagi.

Ibrahim bertanya:  

"Patung apakah ini wahai ayahku? Kedua telinganya besar, lebih besar dari telinga kita." 

Ayahnya menjawab:  

"Itu adalah Mardukh, tuhan para tuhan wahai anakku, dan kedua telinga yang besar itu sebagai simbol dari kecerdasan yang luar biasa." 

Ibrahim tampak tertawa dalam dirinya padahal saat itu beliau baru menginjak usia tujuh tahun.

Injil Barnabas melalui lisan Nabi Isa menceritakan kepada kita, bahwa Nabi Ibrahim mengejek ayahnya saat beliau masih kecil. 

Suatu hari, Ibrahim bertanya kepada ayahnya: 

"Siapa yang menciptakan manusia wahai ayahku?" 

Si ayah menjawab:  

"Manusia, karena akulah yang membuatmu dan ayahku yang membuat aku." 

Ibrahim justru menjawab: 

"Tidak demikian wahai ayahku, karena aku pernah mendengar seseorang yang sudah tua yang berkata: "Wahai Tuhanku mengapa Engkau tidak memberi aku anak."

Si ayah berkata: 

"Benar wahai anakku, Allah yang membantu manusia untuk membuat manusia namun Dia tidak meletakkan tangan-Nya di dalamnya. Oleh karena itu, manusia harus menunjukkan kerendahan di hadapan Tuhannya dan memberikan kurban untuk-Nya." 

Kemudian Ibrahim bertanya lagi: 

"Berapa banyak tuhan-tuhan itu wahai ayahku?"

Si ayah menjawab:  

"Tidak ada jumlahnya wahai anakku." 

Ibrahim berkata:  

"Apa yang aku lakukan wahai ayahku jika aku mengabdi pada satu tuhan lalu tuhan yang lain membenciku karena aku tidak mengabdi pada-Nya? Bagaimana terjadi persaingan dan pertentangan di antara tuhan? Bagaimana seandainya tuhan yang membenciku itu membunuh tuhanku? Boleh jadi ia membunuhku juga."

Si ayah menjawab dengan tertawa:

"Kamu tidak perlu takut wahai anakku, karena tidak ada permusuhan di antara sesama tuhan. Di dalam tempat penyembahan yang besar terdapat ribuan tuhan dan sampai sekarang telah berlangsung tujuh puluh tahun. Meskipun demikian, belum pernah kita mendengar satu tuhan memukul tuhan yang lain." 

Ibrahim berkata: "Kalau begitu terdapat suasana harmonis dan kedamaian di antara mereka."

Si ayah menjawab: "Benar."

Ibrahim bertanya lagi: "Dari apa tuhan-tuhan itu diciptakan?" 

Orang tua itu menjawab:  

"Ini dari kayu-kayu pelepah kurma, itu dari zaitun, dan berhala kecil itu dari gading. Lihatlah alangkah indahnya. Hanya saja, ia tidak memiliki nafas." 

Ibrahim berkata:  

"Jika para tuhan tidak memiliki nafas, maka bagaimana mereka dapat memberikan nafas? Bila mereka tidak memiliki kehidupan bagiamana mereka memberikan kehidupan? Wahai ayahku, pasti mereka bukan Allah." 

Mendengar ucapan Ibrahim itu, sang ayah menjadi berang dan marah sambil berkata:  

"Seandainya engkau sudah dewasa niscaya aku pukul dengan kapak ini."

Ibrahim berkata:  

"Wahai ayahku, jika para tuhan mambantu dalam penciptaan manusia, maka bagaimana mungkin manusia menciptakan tuhan? Jika para tuhan diciptakan dari kayu, maka membakar kayu merupakan kesalahan besar, tetapi katakanlah wahai ayahku, bagaimana engkau menciptakan tuhan-tuhan dan membuat baginya tuhan yang cukup baik, namun bagaimana tuhan-tuhan membantumu untuk membuat anak-anak yang cukup banyak sehingga engkau menjadi orang yang paling kuat di dunia?"

Selesailah dialog antara Ibrahim dan ayahnya dengan terjadinya pemukulan oleh si ayah terhadap Ibrahim. Kemudian berlalulah hari demi hari dan Ibrahim menjadi besar.

Sejak usia anak-anak, hati Ibrahim menanam rasa benci terhadap patung-patung yang dibuat oleh ayahnya sendiri.

Ibrahim tidak habis mengerti, bagaimana manusia yang berakal membuat patung-patung dengan tangannya sendiri kemudian setelah itu ia sujud dan menyembah terhadap apa yang dibuatnya.

Nabi Ibrahim Menghancurkan Berhala

Semenjak kecil Ibrahim memang membenci berhala-berhala yang disembah sebagai Tuhan oleh ayahnya dan orang-orang pasa masa itu.

Pada suatu hari Ibrahim bersama ayahnya masuk di tempat penyembahan.

Saat itu terjadi suatu pesta dan perayaan di hadapan patung-patung, dan di tengah-tengah perayaan tersebut terdapat seorang tokoh dukun yang memberikan pengarahan tentang kehebatan tuhan berhala yang paling besar.

Dengan suara yang penuh penghayatan, dukun itu memohon kepada patung agar menyayangi kaumnya dan memberi mereka rezeki.

Tiba-tiba keheningan saat itu dipecah oleh suara Ibrahim yang ditujukan kepada tokoh dukun itu: "Hai tukang dukun, ia tidak akan pernah mendengarmu. Apakah engkau meyakini bahwa ia mendengar?" 

Saat itu manusia mulai kaget, mereka mencari dari mana asal suara itu. Ternyata mereka mendapati bahwa suara itu suara Ibrahim.

Lalu tokoh dukun itu mulai menampakkan kerisauan dan kemarahannya.

Tiba-tiba si ayah berusaha menenangkan keadaan dan mengatakan bahwa anaknya sakit dan tidak mengetahui apa yang dikatakan.

Lalu keduanya keluar dari tempat penyembahan itu. Si ayah menemani Ibrahim menuju tempat tidurnya dan berusaha menidurkannya dan meninggalkannya setelah itu.

Namun, Ibrahim tidak begitu saja mau tidur ketika beliau melihat kesesatan yang menimpa manusia. Beliau pun segera bangkit dari tempat tidurnya. 

Beliau bukan seorang yang sakit, beliau merasa dihadapkan pada peristiwa yang besar. Beliau menganggap mustahil bahwa patung-patung yang terbuat dari kayu-kayu dan batu-batuan itu menjadi tuhan bagi kaumnya. 

Ibrahim keluar dari rumahnya menuju ke gunung. Beliau berjalan sendirian di tengah kegelapan.

Beliau memilih salah satu gua di gunung, lalu beliau rnenyandarkan punggungnya dalam keadaan duduk termenung. Beliau memperhatikan langit.

Beliau mulai bosan memandang bumi yang dipenuhi dengan suasana jahiliyah yang bersandarkan kepada berhala.

Tidak lama setelah Nabi Ibrahim memperhatikan langit kemudian beliau melihat-lihat berbagai bintang yang disembah di bumi.

Saat itu hati Nabi Ibrahim sebagai pemuda yang masih belia merasakan kesedihan yang luar biasa. 

Lalu beliau melihat apa yang di belakang bulan dan bintang. Hal itu sangat mengagumkannya.

Mengapa manusia justru menyembah ciptaan Tuhan? Bukankah semua itu muncul dan tenggelam dengan izin-Nya.

Nabi Ibrahim mengalami dialog internal dalam dirinya. Allah SWT menceritakan keadaan ini dalam surah al-An'am:

"Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar: 'Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.' Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan Kami (memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku,' tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: 'Saya tidak suka kepada yang tenggelam.'"
(QS. al-An'am: 74-76).

Kita ketahui bahwa di zaman Nabi Ibrahim manusia menjadi tiga bagian. Sebagian mereka menyembah berhala sebagian lagi me­nyembah bintang, dan sebagian yang lain menyembah para raja. 

Hari demi hari berlalu sejak saat itu, Nabi Ibrahim terus menentang para penyembah berhala, matahari, bulan dan raja.

Pada satu waktu terjadi perselisihan antara Nabi Ibrahim dengan kaumnya. Tentu yang termasuk orang yang paling menentang beliau dan marah kepada sikap beliau itu adalah ayahnya dan pamannya yang mendidiknya laksana seorang ayah.

Akhirnya, si ayah dan si anak terlibat dalam pergulatan yang sengit di mana kedua-duanya dipisahkan oleh prinsip-primsip yang berbeda.

Si anak bertengger di puncak kebenaran bersama Allah SWT sedangkan si ayah berdiri bersama kebatilan. 

Si ayah berkata kepa­da anaknya:

"Sungguh besar ujianku kepadamu wahai Ibrahim. Engkau telah berkhianat kepadaku dan bersikap tidak terpuji kepadaku." 

Ibrahim menjawab:

"Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan, sesung­guhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga engkau menjadi kawan bagi setan.'" (QS. Maryam: 42-45).

Sang ayah segera bangkit dan ia tak kuasa lagi untuk meledakkan amarahnya kepada Ibrahim:

"Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan aku rajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama." (QS. Maryam: 46).

Jika engkau tidak berhenti dari dakwahmu ini, sungguh aku akan merajammu. Aku akan membunuhmmu dengan pukulan batu.

Demikian balasan siapa pun yang menentang tuhan. Keluarlah dari rumahku! Aku tidak ingin lagi melihatmu. Keluar!

Akhirnya, pertentangan itu membawa akibat pengusiran Nabi Ibrahim dari rumahnya, dan beliau pun terancam pembunuhan dan perajaman.

Meskipun demikian, sikap Nabi Ibrahim tidak pernah berubah. 

Beliau tetap menjadi anak yang baik dan Nabi yang mulia. Beliau berdialog dengan ayahnya dengan menggunakan adab para nabi dan etika para nabi.

Ketika mendengar penghinaan, pengusiran, dan ancaman pembunuhan dari ayahnya, beliau berkata dengan lembut:

"Semoga keselamatan dilimpahkan hepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku, sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu sent selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.'" (QS. Maryam: 47-48).

Nabi Ibrahim pun keluar dari rumah ayahnya. Beliau meninggalkan kaumnya dan sesembahan-sembahan selain Allah SWT.

Beliau menetapkan suatu urusan dalam dirinya, beliau mengetahui bahwa di sana ada pesta besar yang diadakan di tepi sungai di mana manusia-manusia berbondong-bondong menuju kesana. 

Beliau menunggu sampai perayaan itu datang di mana saat itu kota men­jadi sunyi karena ditinggalkan oleh manusia yang hidup di dalamnya dan mereka menuju ke tempat itu.

Jalan-jalan yang menuju tempat penyembahan menjadi sepi dan tempat penyembahan itu pun ditinggalkan oleh penjaganya. Semua orang mengikuti pesta itu.

Dengan penuh hati-hati, Ibrahim memasuki tempat penyembahan dengan membawa kapak yang tajam.

Ibrahim melihat patung-patung tuhan yang terukir dari batu-batu dan kayu-kayu.

Ibrahim pun melihat makanan yang diletakkan oleh manusia di depannya sebagai hadiah dan nazar. 

Ibrahim mendekat pada patung-patung itu. Kepada salah satu patung dengan nada bercanda ia berkata:

"Makanan yang ada di depanmu hai patung telah dingin. Mengapa engkau tidak memakannya. Namun patung itu tetap membisu." 

Ibrahim pun bertanya kepada patung-patung lain di sekitarnya:

"Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata" Mengapa kalian tidak makan?" (QS. ash-Shaffat: 91).

Ibrahim mengejek patung-patung itu. Ibrahim mengetahui bahwa patung itu memang tidak dapat memakannya. Ibrahim bertanya kepada patung-patung itu:

"Mengapa kamu tidak menjawab?" (QS. ash-Shaffat: 92).

Ibrahim pun langsung mengangkat kapak yang ada di tangannya dan mulai menghancurkan tuhan-tuhan yang palsu yang disembah oleh manusia.

Ibrahim menghancurkan seluruh patung-patung itu dan hanya menyisakan satu patung, lalu beliau menggantungkan kapak itu dilehernya. 

Setelah melaksanakan tugas itu, beliau pergi menuju ke gunung. Beliau telah bersumpah untuk membawa suatu bukti yang jelas, bahkan bukti praktis tentang kebodohan kaumnya dalam menyembah selain Allah SWT.

Akhirnya, pesta perayaan itu selesai dan manusia kembali ke tempat mereka masing-masing.

Dan ketika salah seorang masuk ke tempat sembahan itu ia pun berteriak.

Manusia-manusia datang menolongnya dan ingin mengetahui apa sebab di balik teriakan itu.

Dan mereka mengetahui bahwa tuhan-tuhan semuanya telah hancur yang tersisa hanya satu. 

Mereka mulai berpikir siapa penyebab semua ini. Akhirnya mereka pun mengetahui dan menyadari bahwa ini adalah ulah Ibrahim yang telah mengajak mereka untuk me­nyembah Allah SWT:

Mereka berkata:  

"Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim"." (QS. al-Anbiya': 60).

Mereka segera mendatangi Ibrahim. Ketika Ibrahim datang mereka bertanya kepadanya:

Mereka bertanya:

"Apakah benar engkau yang melakukan semua ini terhadap tuhan kami wahai Ibrahim?" (QS. al-Anbiya': 62).

Ibrahim membalas dengan senyuman lalu ia menunjuk kepada tuhan yang paling besar yang tergantung di lehernya sebuah kapak. "Tidak!"

Ibrahim menjawab:  

"Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". " (QS. al-Anbiya': 63).

Para dukun berkata: "Siapa yang harus kita tanya?" 
Ibrahim menjawab: "Tanyalah kepada tuhan kalian." 
Kemudian mereka berkata: "Bukankah engkau mengetahui bahwa tuhan-tuhan itu tidak berbicara." 

Ibrahim membalas: 

"Mengapa kalian menyembah se­suatu yang tidak mampu berbicara, sesuatu yang tidak mampu memberikan manfaat dan sesuatu yang tidak mampu memberikan mudarat. Tidakkah kalian mau berpikir sebentar di mana letak akal kalian. Sungguh tuhan-tuhan kalian telah hancur sementara tuhan yang paling besar berdiri dan hanya memandanginya. Tuhan-tuhan itu tidak mampu menghindarkan gangguan dari diri mereka, dan bagaimana mereka dapat mendatangkan kebaikan buat kalian. Tidakkah kalian mau berpikir sejenak. Kapak itu tergantung di tuhan yang paling besar tetapi anehnya dia tidak dapat menceritakan apa yang terjadi. Ia tidak mampu berbicara, tidak mendengar, tidak bergerak, tidak melihat, tidak memberikan manfaat, dan tidak membahayakan. Ia hanya sekadar batu, lalu mengapa manusia menyembah batu? Di mana letak akal pikiran yang sehat?" 

Allah SWT menceritakan peristiwa tersebut dalam firman-Nya:

"Dan sesungguhnya telah kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui keadaannya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: 'Patung-patung itu apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya ?' Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.' Ibrahim menjawab: 'Sesungguh­nya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata.' Mereka menjawab: 'Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?' Ibrahim berkata: 'Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku ter­masuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas apa yang demikian itu. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.' Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: 'Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang lalim.' Mereka berkata: 'Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.' Mereka berkata: '(Kalau demikian) Bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikannya.' Mereka bertanya: 'Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?' Ibrahim menjawab: 'Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.' Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: 'Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri).' Kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.' Ibrahim berkata:, maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun tidak dapat pula memberi mudarat kepada kamu?' Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahaminya? Mereka berkata: 'Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kami jika kamu benar-benar hendak bertindak.'" (QS. al-Anbiya': 51-68)

Nabi Ibrahim mampu menundukkan mereka dengan argumentasi dan logika berpikir yang sehat. Tetapi mereka membalasnya dengan menetapkan akan menggantungnya di dalam api.

Sungguh ini sangat mengherankan. Suatu mahkamah yang mengerikan digelar di mana si tertuduh akan dihukum dengan pembakaran.

Tersebarlah berita itu di kerajaan dan di seluruh negeri. Manusia-manusia berdatangan dari berbagai pelosok.

Mereka berdatangan dari gunung-gunung, dari berbagai desa, dan dari berbagai kota untuk menyaksikan balasan yang diterima bagi orang yang berani menentang tuhan, bahkan menghancurkannya.

Mereka menggali lobang besar yang dipenuhi kayu-kayu, batu-batu, dan pohon-pohon lalu mereka menyalakan api di dalamnya.

Kemudian mereka mendatangkan manjaniq, yaitu suatu alat yang dapat digunakan untuk melempar Nabi Ibrahim ke dalam api sehingga ia jatuh ke dalam lubang api. 

Mereka meletakkan Nabi Ibrahim setelah mereka mengikat kedua tangannya dan kakinya pada manjaniq itu. Api pun mulai menyala dan asapnya mulai membumbung ke langit.

Manusia yang melihat peristiwa itu berdiri agak jauh dari galian api itu karena saking panasnya. Lalu, seorang tokoh dukun memerintahkan agar Ibrahim dilepaskan ke dalam api.

Tiba-tiba malaikat Jibril berdiri di hadapan Nabi Ibrahim dan bertanya kepadanya:  

"Wahai Ibrahim, tidakkah engkau memiliki keperluan?"

Nabi Ibrahim menjawab: 

"Aku tidak memerlukan sesuatu darimu." 

Nabi Ibrahim pun dilepaskan lalu dimasukkan ke dalam kubangan api. Nabi Ibrahim terjatuh dalam api. Api pun mulai mengelilinginya, lalu Allah SWT menurunkan perintah kepada api, Allah SWT berkata:

"Wahai api jadilah engkau dingin dan membawa keselamatan kepada Ibrahim." (QS. al-Anbiya': 69).

Api pun tunduk kepada perintah Allah SWT sehingga ia menjadi dingin dan membawa keselamatan bagi Nabi Ibrahim.

Api hanya membakar tali-tali yang mengikat Nabi Ibrahim. 

Nabi Ibrahim dengan tenang berada di tengah-tengah api seakan-akan beliau duduk di tengah-tengah taman.

Beliau memuji Allah SWT, Tuhannya dan mengagungkan-Nya. Yang ada di dalam hatinya hanya cinta kepada sang Kekasih, yaitu Allah SWT.

Para pembesar dan para dukun mengamat-amati dari jauh betapa panasnya api itu. Bahkan api terus menyala dalam tempo yang lama, sehingga orang-orang kafir mengira bahwa api itu tidak pernah padam. 

Ketika api itu padam, mereka dibuat terkejut ketika melihat Nabi Ibrahim keluar dari kubangan api dalam keadaan selamat.

Wajah mereka menjadi hitam karena terpengaruh asap api sementara wajah Nabi Ibrahim berseri-seri dan tampak diliputi dengan cahaya dan kebesaran.

Bahkan pakaian yang dipakai Nabi Ibrahim pun tidak terbakar, dan beliau tidak tersentuh sedikit pun oleh api. 

Nabi Ibrahim pun keluar dari api itu bagaikan beliau keluar dari taman. Lalu orang-orang kafir pun berteriak keheranan. Mereka pun mendapatkan kekalahan dan kerugian. Allah SWT berfirman:

"Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi." (QS. al-Anbiya': 70).

Nabi Ibrahim Melanjutkan Dakwah Ke Berbagai Negeri

Nabi Ibrahim tetap melanjutkan dakwahnya di jalan Allah SWT. Nabi Ibrahim mencurahkan tenaga dan upayanya untuk membimbing kaumnya.

Nabi Ibrahim berusaha menyadarkan mereka dengan berbagai cara. Meskipun beliau sangat cinta dan menyayangi mereka, mereka malah justru marah kepadanya dan malah mengusirnya.

Dan tiada yang beriman bersamanya kecuali seorang perempuan dan seorang lelaki. Perempuan itu bernama Sarah yang kemudian menjadi istrinya sedangkan laki-laki itu adalah Luth yang kemudian menjadi nabi setelahnya.

Ketika Nabi Ibrahim mengetahui bahwa tidak seorang pun beriman selain kedua orang tersebut, ia menetapkan untuk berhijrah.

Sebelum beliau berhijrah, ia mengajak ayahnya beriman. Kemudian Nabi Ibrahim mengetahui bahwa ayahnya adalah musuh Allah SWT dan dia tidak akan beriman.

Nabi Ibrahim pun berlepas diri darinya dan memutuskan hubungan dengannya.

Melalui kisah tersebut, Allah SWT memberitahukan kepada kita bahwa hubungan satu-satunya yang harus dipelihara dan harus diperhatikan di antara hubungan-hubungan kemanusiaan adalah hubungan keimanan, bukan hanya hubungan darah. Allah SWT berflrman dalam surah at-Taubah:

"Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. " (QS. at-Taubah: 114).

Nabi Ibrahim keluar meninggalkan negerinya dan memulai petualangannya dalam hijrah. Nabi Ibrahim pergi ke kota yang bernama Aur dan ke kota yang lain bernama Haran, kemudian beliau pergi ke Palestina bersama istrinya, satu-satunya wanita yang beriman kepadanya.

Beliau juga disertai Luth, satu-satunya lelaki yang beriman kepadanya. Allah SWT berfirman:

"Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. Dan berkatalah Ibrahim: 'Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.'" (QS. al-Ankabut: 26).

Setelah ke Palestina, Nabi Ibrahim pergi ke Mesir. Selama perjalanan ini Nabi Ibrahim mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT, bahkan beliau berjuang dalam hal itu denqan gigih. 

Beliau mengabdi dan membantu orang-orang yang tidak mampu dan orang-orang yang lemah.

Beliau menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia dan menunjukkan kepada mereka jalan yang benar.

Istri Nabi Ibrahim, Sarah, tidak melahirkan, lalu raja Mesir memberikan seorang pembantu dari Mesir yang dapat membantunya.

Nabi Ibrahim telah menjadi tua dan rambutnya memutih di mana beliau menggunakan usianya hanya untuk berdakwah di jalan Allah SWT. 

Sarah berpikir bahwa ia dan Nabi Ibrahim tidak akan mempunyai anak, lalu ia berpikir bagaimana seandainya wanita yang membatunya itu dapat menjadi istri kedua dari suaminya.

Wanita Mesir itu bernama Hajar. 

Akhirnya, Sarah menikah-kan Nabi Ibrahim dengan Hajar, kemudian Hajar melahirkan anaknya yang pertama yang dinamakan oleh ayahnya dengan nama Ismail.

Nabi Ibrahim saat itu menginjak usia yang sangat tua ketika Hajar melahirkan anak pertamanya, Ismail.

Nabi Ibrahim hidup di bumi Allah SWT dengan selalu menyembah-Nya, bertasbih, dan menyucikan-Nya. Kita tidak mengetahui, berapajauh jarak yang ditempuh Nabi Ibrahim dalam perjalanannya.

Beliau adalah seorang musafir di jalan Allah SWT. Seorang musafir di jalan Allah SWT menyadari bahwa hari-hari di muka bumi sangat cepat berlalu, kemudian di tiupkan sangkakala lalu terjadilah hari kiamat dan kemudian hari kebangkitan.

Pada suatu hari Nabi Ibrahim bangun lalu beliau memerintahkan istrinya, Hajar, untuk membawa anaknya bersiap-siap untuk melalui perjalanan panjang.

Setelah beberapa hari, dimulailah perjalanan Nabi Ibrahim ber-sama istrinya Hajar beserta anak mereka, Ismail. Saat itu Ismail masih menyusu pada ibunya.

Nabi Ibrahim berjalan di tengah-tengah tanah yang penuh dengan tanaman, melewati gurun dan gunung-gunung.

Kemuudian beliau memasuki tanah Arab. Nabi Ibrahim menuju ke suatu lembah yang di dalamnya tidak ada tanaman, tidak ada buah-buahan, tidak ada pepohonan, tidak ada makanan dan tidak ada air.

Lembah itu kosong dari tanda-tanda kehidupan. Nabi Ibrahim sampai ke lembah, lalu beliau turun dari atas punggung hewan tunggangannya.

Lalu beliau menurunkan istrinya dan anaknya dan meninggalkan mereka di sana. Mereka hanya dibekali dengan makanan dan sedikit air yang tidak cukup untuk kebutuhan dua hari.

Ketika beliau mulai meninggalkan mereka dan berjalan, tiba-tiba istrinya segera menyusulnya dan berkata kepadanya:

"Wahai Ibrahim, ke mana engkau pergi? Mengapa engkau meninggalkan kami di lembah ini, padahal di dalamnya tidak terdapat sesuatu pun." 

Nabi Ibrahim tidak segera menjawab dan ia tetap berjalan. Istrinya pun kembali mengatakan perkataan yang dikatakan sebelumnya.

Namun Nabi Ibrahim tetap diam. Akhirnya, si istri memahami bahwa Nabi Ibrahim tidak bersikap demikian kecuali mendapat perintah dari Allah SWT. Kemudian si istri bertanya:

"Apakah Allah SWT memerintahkannya yang demikian ini?" 

Nabi Ibrahim menjawab: 

"Benar." Istri yang beriman itu berkata: "Kalau begitu, kita tidak akan disia-siakan." 

Nabi Ibrahim menuju ke tempat di suatu gunung lalu beliau mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada Allah SWT:

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempuyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. " (QS. Ibrahim: 37)


Saat itu Baitullah(Kabah) belum dibangun. Terdapat hikmah yang tinggi dalam perjalanan yang penuh dengan misteri ini.

Ismail ditinggalkan bersama ibunya di tempat ini. Ismail-lah yang akan bertanggung jawab bersama ayahnya dalam pembangunan Ka'bah.

Hikmah Allah SWT menuntut untuk didirikannya suatu bangunan di lem­bah itu dan dibangun di dalamnya Baitullah, di mana kita akan menuju ke sana dan menghadap kepadanya saat kita salat.

Nabi Ibrahim meninggalkan istrinya dan anaknya yang masih menyusu di padang sahara. Ibu Ismail menyusui anaknya dan mulai merasakan kehausan.

Saat itu matahari bersinar sangat panas dan membuat manusia mudah merasa haus. 

Setelah dua hari, habislah air dan keringlah susu si ibu. Hajar dan Ismail merasakan kehausan, dan makanan telah tiada sehingga saat itu mereka merasakan kesulitan yang luar biasa.

Ismail mulai menangis kehausan dan ibunya meninggalkannya untuk mencarikan air. Si ibu berjalan dengan cepat hingga sampai di suatu gunung yang bernama Shafa. 

Ia menaikinya dan meletakkan kedua tangannya di atas keningnya untuk melindungi kedua matanya dari sengatan mata­hari.

Ia mulai mencari-cari sumber air atau sumur atau seseorang yang dapat membantunya atau kafilah atau musafir yang dapat menolongnya atau berita namun semua harapannya itu gagal. 

Ia segera turun dari Shafa dan ia mulai berlari dan melalui suatu lembah dan sampai ke suatu gunung yang bernama Marwah.

Ia pun mendakinya dan melihat apakah ada seseorang tetapi ia tidak melihat ada seseorang.

Si ibu kembali ke anaknya dan ia masih mendapatinya dalam keadaan menangis dan rasa hausnya pun makin bertambah.

Ia segera menuju ke Shafa dan berdiri di atasnya, kemudian ia menuju ke Marwah dan melihat-lihat.

Ia mondar-mandir, pulang dan pergi antara dua gunung yang kecil itu sebanyak tujuh kali.

Oleh karenanya, orang-orang yang berhaji berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali.

Ini adalah sebagai peringatan terhadap ibu mereka yang pertama dan nabi mereka yang agung, yaitu Ismail.

Setelah putaran ketujuh, Hajar kembali dalam keadaan letih dan ia duduk di sisi anaknya yang masih menangis.

Di tengah-tengah situasi yang sulit ini, Allah SWT menurunkan rahmat-Nya. Ismail pun memukul-mukulkan kakinya di atas tanah dalam keadaan menangis, lalu memancarlah di bawah kakinya sumur zamzam sehingga kehidupan si anak dan si ibu menjadi terselamatkan.

Si ibu mengambil air dengan tangannya dan ia bersyukur kepada Allah SWT. Ia pun meminum air itu beserta anaknya, dan kehidup­an tumbuh dan bersemi di kawasan itu.

Sungguh benar apa yang dikatakannya bahwa Allah SWT tidak akan membiarkannya selama mereka berada di jalan-Nya.

Kafilah musafir mulai tinggal di kawasan itu dan mereka mulai mengambil air yang terpancar dari sumur zamzam.

Tanda-tanda kehidupan mulai mengepakkan sayapnya di daerah itu. Ismail mulai tumbuh dan Nabi Ibrahim menaruh kasih sayang dan perhatian padanya, lalu Allah SWT mengujinya dengan ujian yang berat.

Nabi Ibrahim Mendapat Perintah Menyembelih Anaknya

Pada suatu malam, nabi Ibrahim bermimi dalam tidurnya dimana ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya ismail oleh Allah SWT.

Mimpi itu membuat hati nabi Ibarhim bergejolak.

Namun Sebagai pecinta sejati, Ia tidak "menggugat" perintah Allah SWT itu. 

Nabi Ibrahim adalah penghulu para pecinta. Nabi Ibrahim berpikir tentang apa yang dikatakan kepada anaknya ketika ia menidurkannya di atas tanah untuk kemudian menyembelihnya.

Lebih baik baginya untuk memberitahu anaknya dan hal itu lebih menenangkan hatinya daripada memaksanya untuk menyembelih.

Akhirnya, Nabi Ibrahim pergi untuk menemui anaknya.

"Ibrahim berkata: 'Wahai anakku sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi, aku menyembelihmu, maka bagaimana pendapatmu. " (QS. ash-Shaffat: 102).

Perhatikanlah bagaimana kasih sayang Nabi Ibrahim dalam menyampaikan perintah kepada anaknya. la menyerahkan urusan itu kepada anaknya; apakah anaknya akan menaati perintah tersebut.

Bukankah perintah tersebut adalah perintah dari Tuhannya? Ismail menjawab sama dengan jawaban dari ayahnya itu bahwa perintah itu datangnya dari Allah SWT yang karenanya si ayah harus segera melaksanakannya:

"Wahai ayahku kerjakanlah yang diperintahkan Tuhanmu. Insya Allah engkau mendapatiku sebagai orang-orang yang sabar." (QS. ash-Shaffat: 102).

Perhatikanlah jawaban si anak. Ia mengetahui bahwa ia akan disembelih sebagai pelaksanaan perintah Tuhan, namun ia justru menenangkan hati ayahnya bahwa dirinya akan bersabar. Itulah puncak dari kesabaran.

Barangkali si anak akan merasa berat ketika harus dibunuh dengan cara disembelih sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT.

Tetapi Nabi Ibrahim merasa tenang ketika mendapati anaknya menantangnya untuk menunjukkan kecintaan kepada Allah SWT.

Kita tidak mengetahui perasaan sesungguhnya Nabi Ibrahim ketika mendapati anaknya menunjukkan kesabaran yang luar biasa.

Allah SWT menceritakan kepada kita bahwa Ismail tertidur di atas tanah dan wajahnya tertelungkup di atas tanah sebagai bentuk hormat kepada Nabi Ibrahim agar saat ia menyembelihnya Ismail tidak melihatnya, atau sebaliknya.

Kemudian Nabi Ibrahim mengangkat pisaunya sebagai pelaksanan perintah Allah SWT:

"Tatkala keduanya telah berserah din dan Ibrahim, membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya)." (QS. ash-Shaffat: 103).

Pada saat pisau siap untuk digunakan sebagai perintah dari Allah SWT, Allah SWT memanggil Ibrahim. Selesailah ujiannya, dan Allah SWT menggantikan Ismail dengan suatu kurban yang besar. 

Peristiwa tersebut kemudian diperingati sebagai hari raya oleh kaum Muslim, yaitu hari raya yang mengingatkan kepada mereka tentang Islam yang hakiki yang dibawa dan di amalkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. 

Demikianlah kisah Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim meninggalkan anaknya dan kembali berdakwah di bumi Allah SWT.

Nabi Ibrahim berhijrah dari tanah Kaldanin, tempat kelahirannya di Irak, dan melalui Yordania dan tinggal di negeri Kan'an.

Saat berdakwah, beliau tidak lupa bertanya tentang kisah Nabi Luth bersama kaumnya.

Nabi Luth adalah orang yang pertama kali beriman kepadanya.

Allah SWT telah memberinya pahala dan telah mengutusnya sebagai Nabi kepada kaum yang menentang kebenaran.

Semoga kita mendapatkan pembelajaran yang berharga dari kisah nabi Ibrahim as.