IDUL ADHA: APA YANG SEBENARNYA DI KORBANKAN IBRAHIM AS?


Setiap Idul Adha, jutaan Muslim mengenang kisah agung antara seorang ayah dan anak: Nabi Ibrahim dan Ismail. Dalam tradisi populer, cerita ini dipahami secara literal: Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya sebagai bentuk ketaatan. Tapi, apakah itu benar-benar esensi dari kisah ini?
Jika Tuhan adalah Maha Pengasih, mengapa Ia menguji dengan perintah yang tampak kejam?
Jawabannya bukan sekadar soal perintah dan ketaatan. Dalam lapisan-lapisan maknanya, kisah ini adalah ajaran tentang pembebasan diri dari ego, melepaskan keterikatan, dan menemukan cinta yang murni kepada Tuhan.

Secara zahir, Al-Qur’an menyebutkan mimpi Ibrahim yang melihat dirinya menyembelih Ismail, dan ketaatan Ismail terhadap perintah tersebut. Tapi dalam tafsir batin—yang menjadi bagian dari tradisi tasawuf—perintah ini bukan tentang kekerasan, melainkan simbol penyucian jiwa (tazkiyatun nafs).

“Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan darah atau daging, tetapi ketakwaanlah yang sampai kepada-Nya.”
(QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini menggarisbawahi bahwa esensi kurban adalah spiritual, bukan ritualis.

Perspektif Tasawuf: Ismail adalah Simbol Cinta Dunia

Dalam pandangan para sufi seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi, Ismail adalah lambang dari segala sesuatu yang kita cintai seperti anak, harta, nama baik, keinginan, bahkan diri kita sendiri.

Saat Allah memerintahkan Ibrahim untuk "menyembelih Ismail", itu sejatinya adalah perintah untuk menyembelih rasa keterikatan kepada makhluk, agar cinta kepada Allah menjadi satu-satunya pusat.

“Kau tidak akan bisa mencintai Tuhan dengan sempurna, selama masih ada cinta yang mengikatmu pada dunia.”
— Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari

Dalam tasawuf, ujian Ibrahim adalah puncak fana’—lenyapnya ego di hadapan Allah. Ini adalah tahap spiritual tertinggi, di mana seorang hamba tidak lagi berkata “aku”, tetapi hanya “Dia”.

Perspektif Psikologi: Melepaskan Diri Palsu

Dalam psikologi modern, khususnya pendekatan eksistensial dan humanistik, kisah ini sejalan dengan proses melepaskan ego atau bahkan mengalami ego death.

Psikolog seperti Carl Jung dan Erich Fromm menyebut bahwa kebebasan sejati hanya bisa dicapai ketika manusia mampu melepaskan rasa memiliki, dan menerima ketidakkekalan.
"The greatest act of love is to let go." – Erich Fromm

Dalam konteks ini, Ibrahim bukan hanya nabi, tapi arketipe dari manusia yang berhasil melampaui keterikatan terdalam: pada anaknya, pada rasa aman, dan pada ke"aku"an.

Ismail, sebagai simbol, bisa diartikan sebagai:
  • Citra diri yang dibangun bertahun-tahun
  • Pekerjaan yang membentuk identitas
  • Orang yang kita cintai, namun menjadi berhala dalam hati
 

Kurban dalam Kehidupan Modern: Apa “Ismail” dalam Hidup Kita?

Setiap kita memiliki “Ismail” kita sendiri. Hal-hal yang kita anggap tak tergantikan, yang kita genggam terlalu erat, dan terkadang  menjadi penghalang antara kita dan Tuhan.
Ismail itu bisa berupa:
  • Pekerjaan yang membuat lalai
  • Hubungan yang membuat lupa diri
  • Keinginan duniawi yang memabukkan
  • Ego yang enggan tunduk pada kebenaran
Maka, ketika kita menyembelih hewan kurban setiap Idul Adha, itu bukan sekadar simbolik, itu adalah deklarasi bahwa kita siap menyembelih keterikatan, dan mempersembahkan diri pada kehendak Ilahi.

Salah satu bagian paling menyentuh dalam kisah ini adalah dialog Ibrahim dan Ismail:
“Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu.”
Ismail menjawab: “Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)

Dialog ini bukan percakapan biasa. Ini adalah komunikasi antara dua jiwa yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Ismail tidak melawan. Ia pasrah—bukan karena lemah, tapi karena sadar bahwa cinta sejati kepada Tuhan menuntut keberanian untuk menanggalkan segalanya.

Spirit Kurban yang Nyata

"Jika engkau belum bisa menyembelih hewan, sembelihlah egomu.
Jika engkau belum bisa melepaskan anak, lepaskan rasa memiliki yang membelenggu."

Kurban sejati adalah ketika seseorang: 
  • Ikhlas melepaskan kebencian
  • Berani meninggalkan kemaksiatan yang disukai
  • Rela memaafkan meski sakit
  • Melepaskan kedudukan demi kebenaran
Itulah jiwa Ibrahim, jiwa yang bertauhid sejati. Bukan hanya menyebut “Laa ilaaha illallah” di lisan, tapi membuktikannya dengan menyerahkan seluruh hidup kepada-Nya.

Penutup

Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan cerita tentang kekerasan. Bukan tentang perintah membunuh.
Tetapi tentang ketundukan hati, kemenangan atas ego, dan ketakwaan sejati.

Dari sisi tasawuf, ini adalah pelajaran fana’, ihklas, dan mahabbah ilahiyah.
Dari sisi psikologi, ini adalah contoh pengorbanan ego demi transformasi diri yang lebih tinggi.

Apa “Ismail” dalam hidupmu?
Apa yang paling sulit kamu lepaskan… tapi justru menghalangi hubunganmu dengan Allah?
🌙 Tulis di kolom komentar.
📢 Bagikan artikel ini ke sahabatmu.